Senin, 28 November 2022

Zakaria Tihen: Pengabdian Sampai Akhir

Zakaria Tihen: Pengabdian Sampai Akhir 

Ditulis oleh ; E.W Faige

Disarikan Kembali oleh : Hadi S. Miter

 

sketsa orang Dayak abad 19



Tulisan ini ditulis oleh Ernest Wiliam Faige yang berjudul “Wees Getrouw Tot In Den Dood  Of De Levensgeschiedenis Van Zacharia Tihen” (Setia Sampai Mati : Sejarah Hidup Zacharia Tihen), sebagai bentuk rasa hormatnya kepada sosok penginjil pribumi Zakaria Tihen. Ini tulisan yang menarik mengambil setting perkampungan Dayak maanyan di Tamiang Layang, dan kampung Blai Dato dimana kampung ini kelak berubah menjadi Beto atas Prakarsa Missionaris Sunderman. Sejauh ini memang tidak banyak tulisan-tulisan tentang para penginjil pribumi khususnya orang Dayak, saya bersukur bisa mendapatkannya serta menyajikannya agar dapat kita baca sebagai refleksi atas masa lalu dan apa yang akan kita petik untuk masa yang kan datang.

 

Tihen pria Dayak yang cerdas.

Tihen pria Dayak yang berbakat, dia masuk sekolah yang dikelola oleh misionaris saat dia masih anak-anak, dia mengikuti sekolah yang dikelola misionaris Beijer di Poelo Telo (dekat Kuala Kapuas). Ayahnya menentangnya dan mengeluarkannya dari sekolah, tetapi Tihen orang yang gigih dia tetap pergi kesekolah. Dia belajar menulis dan membaca serta sangat menyukai sejarah Gereja. Ayahnya meninggal pada Mei 1890. Ketika dia berusia sekitar lima belas tahun dia memutuskan untuk pergi ke Banjarmasin, di mana dia bekerja dengan orang-orang Eropa disana, Tihen menjadi asisten seorang Jerman bernama  Von dem Borne, yang dipekerjakan oleh Pemerintah untuk menggambar peta Kalimantan. Tihen menjelajahi Kalimantan mendampingi  Von dem Borne dan dengan demikian ia berkenalan dengan daerah dan orang-orang yang sebelumnya tidak akan pernah dia lihat.

Saat meletus perang 1859 Tihen memutuskan pulang, menikah dan menentap di Mandomai, pada tahun 1860an ia menjalani hidup sebagai seorang Dayak dengan kepercayaan asli di kampung istrinya Mandomai. Sampai Ketika saya(Faige) ditugaskan dari Wuppertal Jerman ke Mandomai Pada bulan November 1872. Pada sore hari tanggal 15 April 1873, Tihen datang kepada saya dan menyatakan bahwa dia telah berbicara dengan ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuannya bahwa mereka bersedia untuk menerima katekesasi dan siap untuk dibaptis. Lalu akhirnya Desember Pada tahun 1873 bersama sejumlah kecil warga jemaat (enam belas orang dengan anak-anak) dibaptis, tidak hanya para misionaris yang bersukacita dan bersyukur, tetapi juga yang dibaptis, dan di antara adalah Tihen yang sekarang menerima nama baptis “Zakharia”.

pada tahun 1875 Ketika post misi di pedalaman dibuka untuk kami, dan saya pindah ke Tamiang Layang. Tihen saya dipromosikan menjadi guru bantu : “Meskipun Zakharia masih seorang Kristen muda, dia tahu apa yang dia lakukan; dia memiliki karunia dan keberanian untuk bersaksi dan menunjukkan bahwa dia adalah seorang Kristen dengan menjalani kehidupan yang berbeda. Tihen ditempatkan terlebih dahulu sebagai kepala sekolah di Telang dan nantinya dapat digunakan sesuai situasi." Namun Misionaris CC. Hendrich membutuhkannya untuk menjadi guru di Mandomai serta mengajar katekesasi untuk calon baptisan ditempat yang sulit untuk dijangkau, Ketika kami melihat imannya, penyerahannya kepada Tuhan, kesabaran dan ketundukannya, bahkan di saat-saat tersulit, kami sering mengatakan bahwa dia adalah teladan bagi semua orang Kristen. Walau kadang kami para misionaris harus sangat sabar menghadapinya karena ada kecenderungan bahwa Tihen adalah sosok pemalas, yang membuat ekonominya morat marit dan membuatnya tampak menjadi sangat miskin; berbanding terbalik dengan saudaranya Silvanus yang rajin Bertani dan juga berdagang. Kalau bukan karena gajih yang tidak seberapa dari badan misi untuk pekerjaannya sebagai guru bantu, mungkin Tihen dan istrinya bersama keenam anaknya mereka mungkin tidak dapat bertahan hidup.


Pindah menjadi guru di Tamiang Layang

Kehidupannya di Mandomai semakin melarat jadi dia memutuskan untuk memboyong anak dan istrinya ke Tamiang Layang pada tahun 1880, dan berladang tidak jauh dari rumah misi di Tamiang Layang dan mengajar di sekolah. Istri Tihen yaitu Martha bekerja dengan rajin di ladang mengurus padi mereka. Tuhan memberkati mereka dengan menganugrahkan mereka panen yang baik, tetapi tahun berikutnya panen buruk, kebutuhan meningkat, dan untuk menutupi kebutuhan makan harian tidak tercukupi. Pukulan berat lainnya: Marta jatuh sakit dan meninggal setelah lama menderita. Kami sering berpikir bahwa Martha ini telah menjadi seorang Kristen hanya untuk pergi bersama suaminya, tetapi di ranjang kematiannya, menjadi jelas bagi kami keyakinan batin yang kuat yang dia miliki, dan betapa besar sukacita dan kedamaian yang dia dapat saat pergi.

Zakharia kini berdiri sendiri dengan keenam anaknya. Panennya, seperti yang disebutkan di atas, buruk. Kemudian kami membantunya dengan modal untuk berdagang. Dulu saya pernah membuat cerutu dari tanaman tembakau yang saya tanam di Tamiang Layang; Saya sekarang mengatur agar Tihen mengelola  pembuatan cerutu dengan lebih serius. Dia juga kami berikan modal ke Banjarmasin untuk membeli kebutuhan rumah tangga dan dijual Kembali di Tamiang Layang serta sekitarnya. Jadi perlahan satu tahun berlalu Tihen memiliki penghasilan yang lumayan untuk membuat dapurnya tetap berasap dan anak-anaknya tetap makan. setelah kematian istrinya, nampaknya Zakharia Tihen mulai untuk memikirkan menikah kembali. Matanya tertuju pada seorang gadis belia dari jemaat di Tamiang Layang, gadis tersebut hampir seusia dengan putra sulungnya. Saya tentu saja menentang pernikahan ini, begitu pula orang tua gadis itu, pertentangan ini menjadi tebing yang sangat berbahaya dan menjadi tempat Tihen tersandung. Pada saat istrinya meninggal, dia berkata, "Tuhan, jadilah kehendak-Mu," betapapun dia sangat mencintai almarhum istrinya. Dia telah belajar untuk menanggung banyak hal demi Kristus, tetapi dalam hal ini dia tidak bisa lepas dari bahaya yang menggoda imannya, dan suatu sore kami mendapat kabar bahwa dia telah melarikan diri dengan gadis itu. Sebagai orang Kristen tentu saya sangat malu dan terpukul atas apa yang dilakukan Zakaria Tihen dihadapan jemaat. Saya tidak dapat bertindak apa apa atas pilihannya kami hanya menyimpan rasa kecewa.

Sampai suatu hari Tuhan menghukum Tihen, dimana dia jatuh sakit dan kehilangan pendengarannya. Beberapa hari berlalu. Saya mengunjunginya beberapa kali, tetapi tidak rasa bersalah dan rasa penyesalan yang ia utarakan, sehingga saya harus membuatnya merasakan keseriusan hukuman Tuhan atas dirinya. Pada hari keempat, menjelang malam, salah satu anaknya mendatangi saya dengan secarik kertas yang di atasnya tertulis dengan tangan gemetar: “Tuan, aku mohon, datang dan selamatkan aku; jika tidak, saya tersesat lebih jauh!" Sekarang waktunya telah tiba untuk menunjukan saya utusan Kristus yang maha pengampun asalkan ada keseriusan mengakui dosanya. O betapa mulianya bahwa kita memiliki perintah dari Juruselamat ini, baik kepada para hamba-Nya maupun para pendosa yang malang! Saya menemukan dia sangat hancur. Tihen mengutip Mazmur 32:5 Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku  tidaklah kusembunyikan; aku berkata: "Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku" dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku. Ketika saya datang kepadanya dia menggenggam tangan saya, dan berteriak, "Selamatkan aku! Selamatkan aku!" Waktunya telah tiba untuk berdoa bersamanya dan mengampuni dosanya dalam nama Juruselamat. Sejak saat itu kedamaian Tuhan kembali ke hatinya, dan demamnya hilang; dia sehat.

 

 

Buku karya Tuan Faige Wees Getrouw Tot In Den Dood  Of De Levensgeschiedenis Van Zacharia Tihen” tahun 1895


Menjadi penginjil di Balai Dato

Sepertinya bisnis perdagangan tidak berjalan dengan baik, dan menanam padi di daerah ini membutuhkan banyak usaha, tetapi biasanya tanpa hasil. Sementara itu, umat Kristen Tamiang Layang mendengar bahwa ada tanah yang subur dengan lokasi yang cukup jauh dari sini. Suatu ketika Zakharia Tihen pergi dengan istri mudanya untuk melihat keberadaannya prospek lahan untuk ditanami disana. Dalam perjalanan ini mereka sampai di daerah Ampari, tepatnya kampung Balai Dato. Padi berlimpah di sana; mereka diterima dengan baik dan diajak orang setempat tinggal dan menanam padi disana. Seorang pria kaya menawarkan untuk membantunya dengan beras sampai panen berikutnya. Zakharia kembali dengan penuh semangat dan segera siap untuk pindah ke Balai Dato mencari kehidupan yang lebih baik. hampir semua baptisan kami bersemangat untuk pergi ke sana juga, dan kami tinggal sendirian di Tamiang Layang. Sebenarnya saya disarankan para penatua untuk melarang jemaat pergi kesana, tetapi saya tidak punya hak untuk melakukannya dan saya juga tidak punya dana untuk membantu ekomomi mereka. Kami hanya dapat mengandalkan komunitas jemaat kecil kami di Balai Dato untuk menjaga iman mereka agar tidak terancam bahaya.

Zakharia Tihen adalah benteng jemaat, dia adalah contoh bagaimana jemaat Kristen harus berperilaku di tengah-tengah lingkungan kafir, agar mereka bisa menjadi garam dan terang dalam kegelapan. Zakharia melanjutkan perjalanannya dengan semangat yang baik, dan di waktu luangnya terlibat sebagai penginjil. Pertama-tama dia melakukan audiensi dengan para pemilik tanah, yang mendengarkan dengan penuh perhatian pada Firman Tuhan yang diberitakan. pada akhir Oktober 1884 Zakaria Tihen berhasil membaptis Papong seorang pemilik tanah di Balai Dato. Setelah pesta pembaptisan, delapan orang datang untuk meminta petunjuk pembaptisan, termasuk istri dan anak Papong, kegembiraan menjadi lebih besar. Itu adalah waktu yang indah, yang Tuhan berikan kepada kami melewati seorang Zakaria Tihen. Namun sayang setelah 6 bulan berlalu Papong meninggal dunia akibat gagal ginjal orang-orang disitu mau agar Papong dimakamkan secara agama lama, tetapi Zakaria menolaknya. Zakaria Tihen bercerita sambil berlinang air mata karena ia dapat membaptis orang Islam yang ada di Balai Dato.

Akhir hayat seorang Zakaria Tihen

Saat saya mengunjungi Zakaria Tihen di Balai Dato, dia sedang terbaring demam dan bukan demam biasa yang dideritanya; itu adalah penderitaan dan tidak jarang berakibat fatal. Keesokan paginya, dia pingsan akibat gangguan pernapasan dan batuk. Dia tidak bisa berbaring; yang membuatnya sedikit lega adalah duduk di kursi. “Ya Tuhan Yesus, maukah Engkau membawaku pulang, lakukan dengan cepat; karena itu hampir terlalu berat untuk ditanggung!” kata Zakaria Tihen dalam doanya. Dia yakin bahwa dia berada pada hari-hari terakhir kehidupannya. Pada pagi terakhir hidupnya, dia meminta kepadaku agar dilayani Perjamuan Kudus. Namun, saya tidak dapat percaya bahwa Tuhan akan mengambilnya, karena saya masih sangat membutuhkannya. Tapi dari jam ke jam harapan saya sirna, Zakaria memanggil anak-anaknya serta menciumi mereka dan memberi tahu mereka bahwa dia sekarang pergi kepada Juruselamat, dan bahwa mereka harus tetap berpegang pada Kristus. Setelah itu dia meninggal dengan damai, dia sekarang berbaring dengan gurat kedamaian di wajahnya; Tihen telah menang, dan menjaga iman; oleh karena itu mahkota kebenaran akan dianugrahkan kepadanya. Saya sangat sedih mau tidak mau saya meneteskan air mata memikirkan nasib keenam anak-anak ; tetapi lebih dari itu, saya kehilangan seorang sahabat. Keesokan paginya masih banyak pekerjaan yang menunggu; jalan harus dibersihkan dari rumput liar sampai ke tempat pemakaman; sebuah jembatan harus dibangun di atas sungai dari  sebuah pohon besar ditebang dan akhirnya kuburan harus digali. Selain itu, orang kafir harus dinegosiasikan, karena tempat kami ingin menguburkan Zakharia ada di dekat perkampungan mereka. Menjelang siang semuanya sudah siap. Di dalam rumah "Saya berkotbah dari Matius 13 : 43. " Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!" Di kuburan kami menyanyikan lagu kidung Bahasa Dayak; Saya berbicara singkat kepada orang kafir yang hadir tentang harapan orang Kristen, dan kemudian kami harus menyerahkan jenazah hamba yang setia ini ke dalam bumi. Saya mempertimbangkan untuk memanggil guru Daniel Akar untuk mengambil alih tugas pelayanan Zakaria membina jemaat di Balai Dato.

sumber : E. W Faige, Wees Getrouw Tot In Den Dood  Of De Levensgeschiedenis Van Zacharia Tihen, Höveker & Zoon (Amsterdam) 1895.

 


Kamis, 08 September 2022

LUDWIG ORANG KRISTEN PERTAMA DARI TAMPA

 

LUDWIG ORANG KRISTEN PERTAMA DARI TAMPA

By:

Hadi Saputra Miter

Jemaat Beto awal abad 20



 

Ludwig si cerdas dari desa Tampa

Pada tahun 1912, bersama para pemuda lainnya dari berbagai jemaat di Kalimantan, seorang pemuda dari daerah Maanyan ditunjuk masuk ke seminari di Banjarmasin untuk dilatih sebagai guru. Namanya Ludwig, dia baru saja dibaptis dan satu-satunya Kristen dalam keluarganya. Injil telah masuk kedalam hatinya, dan dia sangat ingin menjadi guru dan menjadi pemimpin jemaat agar mengenal Juruselamat, sebuah cita-cita yang mulia. Sifat Ludwig digambarkan sebagai sosok yang pendiam, kesetiaannya tidak diragukan dan takut akan Tuhan. Sayangnya, keinginan pemuda itu tidak berjalan dengan lancar. Setelah sekitar satu tahun ia menderita karena penyakit beri-beri. Seminari memberikannya cuti berobat dan memulihkan diri untuk beberapa bulan. Kemudian dia mencoba lagi untuk melanjutkan studinya. Tetapi penyakitnya kembali kambuh, sehingga dia terpaksa harus meninggalkan seminari dan kota Banjarmasin.

Ludwig memutuskan untuk pulang kekampung halaman orang tuanya di desa Tampa, tidak jauh dari Stasi Misi Beto. Dari Banjarmasin, sebenarnya Ludwig direkomendasikan agar membantu misionaris Hendrich di Beto agar kebutuhan jasmani dan rohaninya tidak layu di lingkungan kafir di Tampa. Pada Natal 1913, Ludwig datang ke Beto untuk merayakan Natal bersama jemaat yang ada disana. Di Beto Missionaris Hendrich lebih mengenalnya. Ludwig yang pendiam nampak pucat, ia berjuang dengan batuk dan nyeri dada, tetapi penderitaannya tidak membuatnya menjauh dari Juruselamat seperti kebanyakan orang, hal tersebut membuat kesan yang mendalam pada Hendrich.


Ludwig Orang Kristen Yang Taat

Dia memutuskan untuk berjuang melewati penderitanya semaksimal mungkin, terlebih lagi karena, secara manusiawi, dia takut dengan hari-harinya akan kematian. Kondisinya membaik secara signifikan karena obat-obatan dan perawatan yang diberikan kepada Ludwig. Sejauh ini dia bergantung dengan orang tuanya yang memberi dia makan. Ia tidak bisa melakukan pekerjaan lapangan yang berat karena tubuhnya yang lemah. Setelah beberapa waktu ia memperoleh pekerjaan sebagai juru tulis untuk kepala distrik di desa Lampeong, sebuah desa kafir, dan menetap di sana. Dia menikahi seorang gadis Maanyan kafir, tidak mudah menjadi orang Kristen di lingkungan kafir. Banyak orang menyerah pada godaan dan tenggelam kembali ke dalam paganisme, yang setiap hari mengelilingi mereka. Tapi hal tersebut tidak terjadi pada Ludwig. Melalui korespondensi dan kunjungan ke misionaris Hendrich, ia mencoba untuk lebih berakar kuat dalam firman Tuhan. Dia rajin membaca Perjanjian Baru dan Buku Katekismusnya serta menyanyikan lagu-lagu Kristen. Tak lama kemudian istrinya mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang Kristen juga. Selain itu, seorang pemuda lain dari desa Lampeong dimenangkan olehnya. Dia kemudian dengan setia dan rajin mengajar mereka berdua sampai mereka dapat dibaptiskan. Ludwig mengungkapkan bahwa ia rindu untuk tinggal di antara orang-orang Kristen dan dalam persekutuan jemaat Kristen. Sayang, kesehatannya lebih banyak mundur daripada maju. Terkadang misionaris Hendrich mengirimkan obat. Kemudian Ludwig mengirimkan banyak uang untuk dana masyarakat di Beto sebagai ucapan terima kasih.

 

Menjadi Pembarita di Beto

Pada tahun 1914 misionaris Hendrich harus pindah ke stasi Misi Tamiang Layang, yang berjarak enam jam perjalanan, dan Beto menjadi kosong tanpa misionaris untuk sementara waktu. Ludwig untuk pergi ke Beto untuk menjaga rumah misi yang kosong, dan tinggal disana. Pada saat yang sama ia mendapat jabatan sebagai tukang pos antara Beto dan Tamiang Layang. Di Beto Ludwig membuktikan dirinya sebagai orang Kristen yang tak kenal takut. Seperti yang diketahui bahwa orang-orang kafir takut dengan roh dan hantu. Ludwig diberi tahu oleh mereka bahwa: "Di dalam rumah misi yang kosong, banyak roh-roh dan hantu berkeliaran, yang kadang muncul baik siang maupun malam”. Tetapi Ludwig sama sekali tidak takut. Ludwig banyak bercerita kepada misionaris Hendrich, pada setiap kunjungn rutinya ke Tameang Layang: "Saya baik-baik saja, saya melihat apapun tentang roh dan hantu, sebaliknya, sejak saya  sudah di rumah misi, kesehatan saya justru semakin baik dan lebih baik. Orang-orang bertanya-tanya dan bertanya: "Apakah kamu tidak takut tinggal disitu sendirian?" "Dalam tubuhnya yang lemah, hiduplah dengan hidup dan pikiran jernih. Dia sangat teliti dan memikirkan segala sesuatu yang ditugaskan kepadanya. Dia juga bisa dipanggil untuk mengadakan kebaktian gereja. Dia selalu mempersiapkan dirinya dengan sangat hati-hati untuk ini karena dia takut mengatakan sesuatu yang salah. Tuhan telah menganugrahkan padanya kecerian. Bahkan di hari-hari penderitaannya, yang menghampirinya dia selalu memperlihatkan wajah yang ceria. Di bulan September penyakitnya, yang perlahan menggerogoti inti hidupnya, dengan kekuatan yang berlipat ganda. Dia tidak bisa lagi melakukan tugasnya dan harus berbaring di ranjang. Pada akhir September, misionaris Hendrich mengunjunginya untuk memberinya Perjamuan Kudus. Dia mendiskusikan beberapa masalah pribadi dengan Hendrich; kemudian mereka berpisah dengan anggapan bahwa mereka tidak akan bertemu lagi di dunia ini.

Ludwig Kristen Pertama di Tampa

Setelah beberapa hari, ayahnya membawanya pulang ke kampung halamannya di Tampa. Awalnya dia merasa sedikit lebih baik di sana, sehingga dia bisa meninggalkan Beto untuk sementara waktu. Tapi itu hanya kedipan terakhir dari cahaya kehidupan. Suatu Minggu pagi dia menderita batuk parah yang mengakhiri hidupnya. Dia telah membahas penguburannya secara rinci dengan ayahnya, yang masih seorang kafir, dan secara serius melarang mereka untuk menguburkannya dengan cara kafir. " Seharusnya tidak boleh ada kegiatan kafir apapun dan Tuan di Tameang Layang harus diberitahu segera begitu saya mati, " kata Ludwig. Masyarakat Desa Tampa menyatakan keheranan mereka atas kematian yang tenang dan damai, padahal dia menderita sebuah penyakit yang sangat keras. Orang Desa Tampa mengira itu karena efek Perjamuan Kudus yang diberikan oleh tuan dari Tamiang Layang. Misionaris Hendrich menerima berita tentang meninggalnya Ludwig pada hari yang sama melalui seorang kurir, maka keesokan paginya dia pergi ke Tampa, di mana Ludwig dimakamkan sebagai orang Kristen pertama di desa Tampa.

Sumber : Hasil penuturan Misionaris Hendrich kepada misionaris H. Sundermann, Bilder aus der Missionsarbeit auf Borneo, (Barmen: Verlage des missionshauses zu 1920), hal 32-35.

Rabu, 20 Juli 2022

KISAH PEJABAT BELANDA YANG BERDINAS DI BUNTOK TAHUN 1911 (Bagian 1)

 

KISAH PEJABAT BELANDA YANG

BERDINAS DI BUNTOK TAHUN 1911 (Bag.1)

Diceritakan kembali oleh : Hadi.S.Miter

 

Kapten F. te Wechel bersama para kepala distrik Barito


 

Dari Bogor ke Buntok

Pada waktu senja di suatu sore di Buitenzorg (sekarang Bogor) tahun 1911 yang diguyur hujan, tukang pos menyampaikan dokumen resmi negara tentang  pengangkatan saya Kapten F. te Wechel sebagai Controleur Civiel gezaghebber di Buntok. Pada akhir Mei, Javaspoor (jawatan kereta Api Jawa) membawa kami sekeluarga ke Surabaya dalam 2 hari, dan melanjutkan perjalanan dengan sebuah kapal menuju Bandjermasin. Dari Bandajermasin, nantinya perjalanan ke pedalaman negeri asing akan dimulai, di Banjarmasin saya menghadap Residen (jabatan setingkat gubernur) dan mengambil sumpah jabatan saya sebelum berangkat ke Buntok. Setelah urusan birokrasi pemerintahan yang rumit selesai kami sekeluarga berangkat menggunakan kapal menyusuri Sungai Martapoera dan kemudian menyusuri Barito.


Kapal dari Banjarmasin ke Buntok

Pembantu kami yaitu Babu Raisah yang kami bawa dari Buitenzorg, yang sedikit protes, Dia takut pada hutan belantara, katanya; "tuan bisa memberi perintah dan menjadi pejabat yang baik di sini, karena didalam hutan ini hanya ada Kera." Di bawah atap tenda di atas kapal, termometer naik menjadi hampir 380 C atau 100 F. Panas yang luar biasa di hari pertama kami menginjakkan kaki di Buntok! Di sanalah kami, di tengah-tengah Kelurahan Buntok (Onderafdeeling Boentok). Beberapa pejabat pribumi, serta juru tulis, datang untuk menyambut saya. Mereka mengucapkan beberapa patah kata sambutan, dan kemudian Bersama para kepala sukumenyalami kami. Sang djaksa (asisten jaksa penuntut umum) mengkoordinir para kuli yang mengangkut barang-barang kami agar dimasukan kedalam rumah.

 

Babu Raisah, pembantu rumah tangga Kapten F. te Wechel 


Menjadi Controleur Civiel gezaghebber di Buntok

Babu Raisah, dibantu  seorang prajurit perempuan, telah menyediakan makanan sederhana berupa nasi kepada kami. Kelelahan dari perjalanan dan serangan nyamuk mengantarkan kami ke balik kelambu pada awal malam pertama itu di Buntok. Di pagi hari, babu Raisah telah menyediakan secangkir kopi yang menguatkan. sementara istri saya dan para pelayan, setelah membongkar sedikit barang-barang kami, mencoba membuat rumah tua ini menjadi layak untuk ditempati, saya memilih masuk ke "Kantor Besar", sebuah tempat suci pagi pejabat controleur der Oost- en West Dusun-Landen. seorang (districtshoofd) kepala distrik Dayak, yang mahir dalam bahasa Belanda, menyerahkan kepada saya layanan dan tugas yang telah emban selama selama beberapa bulan. Saya mengobrak-abrik dan membaca tumpukan arsip, dan mempelajari tugas saya sebagai pejabat disini. Wilayah ini adalah sebuah negeri yang cukup asing bagi kami sekeluarga, dimana saya dan istri saya, dan dua misionaris yang jaraknya beberapa hari dari Buntok (Mungkin Mangkatip), adalah orang Eropa yang ada di negeri ini, wilayah tugas ku memiliki populasi penduduk sebagian besar kafir dan dengan luas 11.000 km. itulah wilayah kerja saya.


Rumah dinas Controleur Civiel gezaghebber di Buntok


Di Buntok ada seorang seorang hakim pribumi (Djaksa) sampai batas tertentu hakim mengurus kasus kasus perdata dan pidana, seorang dokter dengan apotek sederhana, pedagang, petugas pos, ketua komite sekolah desa dan misionaris, pengawas konstruksi dan pemeliharaan asset pemerintah. Seorang juru bayar dan, mengingat jarak yang sangat jauh di mana kampung-kampung itu terletak satu sama lain dan dari kota utama Buntok, akan melibatkan pekerjaan yang paling sulit: yaitu mengumpulkan pajak.




Kapten F. te Wechel dengan Prajurit (polisi bersenjata) di Boentok


Seorang pria Menado dengan pangkat sersan memegang jabatan sebagai kepala polisi bersenjata (Oppas) di Buntok, Separuh dari 20 orang detasemennya terdiri dari orang Dayak, separuhnya lagi orang Melayu Banjar. Pengalaman saya sebagai perwira di militer sampai akhirnya pemerintah melakukan reorganisasi kepolisian di Hindia Belanda; sehingga dimata saya para polisi adalah orang-orang yang ramah dan tidak disiplin, yang dalam tugas pelayanannya mereka sering menyimpang dan naif, walaupun begitu Polisi merupakan elemen yang sangat diperlukan; Ketika saya melakukan perjalanan, merekalah pendayung saya yang penuh semangat bernyayi disepanjang perjalanan.

 

Kesibukan tugas dinas di Buntok

Selama seminggu saya mendapat kunjungan, dari districtshoofd van Doesoen (kepala distrik Barito), pengelola gudang garam, petugas vaksin, dan guru sekolah negeri— semuanya adalah orang Dayak—saya berkenalan dengan para pejabat itu. Jadi suatu pagi, ketika saya sedang sangat sibuk, seorang Dayak mantan kepala kampung tua datang ke kantor. Dia datang untuk memberi tahu kami bahwa tetangganya memiliki seekor anjing yang menggonggong pada anak-anaknya— statusnya sebagai pelapor. Saya pikir masih banyak lagi yang akan datang, dan dengan ramah meminta orang tua itu untuk lawat saja. Tapi yang terjadi reaksi pria tua itu sangat mengejutkan saya, dia marah: "Saja tida trima, tuwan besarl" ("Saya tidak akan puas dengan itu, Tuan!") dia merasa diabaikan sedangkan saya merasa masalah bertetangga kenapa harus melibatkan apparat pemerintah, dilain pihak saya kaget ternyata dia melakukan perjalanan dua hari dengan perahu untuk menemui saya. Namun, dari situ saya belajar bahwa, kasus-kasus yang disajikan, dari sudut pandang Dayak, layak untuk diselidiki. Tanpa juga meninggalkan pemahaman Barat tentang hukum dan keadilan—untuk menempatkan sudut pandang Barat sebanyak mungkin ke satu sisi ketika menghadapi suatau perkara dan menempatkan dirinya pada sudut pandang Pribumi. Sebuah niat, yang implementasinya membutuhkan banyak usaha.

 

Kesibukan hari minggu

Kami mencoba untuk beristirahat di hari Minggu. Tetapi sulit untuk mengajari orang Dayak bahwa tuan ingin menyingkirkan semua urusan administrasi dan pelayanan hanya untuk satu hari dalam seminggu, terutama karena kata-kata pelayanan sangat sulit dalam menterjemahkannya kedalam Bahasa mereka.

Oleh karena itu tidak mudah untuk menjelaskan kepada penduduk Buntok bahwa kami mendambakan hari Minggu untuk diri kami sendiri, dan diperburuk oleh fakta bahwa pasar diadakan pada hari Minggu di Buntok. Orang-orang, yang sebelumnya tidak pernah anda lihat, kemudian berdatangan memasarkan buah-buahan, rotan, atau apa pun yang bisa mereka jual; beberapa dari mereka mengambil kesempatan untuk mengajukan beberapa permintaan ke saya sebagai pejabat. Tidak hanya penyelesaian kasus yang mendesak, termasuk meminta perban atau obat-obatan. Orang Dayak tipe pekerja, meskipun tidak teratur, dan saya telah belajar untuk berhati-hati dengan menghindari kata "malas" ketika berbicara tentang penduduk asli.

Minggu pagi saya dan keluarga juga gunakan untuk berjalan jalan di pasar Buntok, aroma asap panggangan yang mengunggah selera, bocah-bocah Dayak yang merengek kepada orang tuanya untuk mendapatkan apa yang mereka mau, dan para pemuda sekolah yang berjalan mondar-mandir di alun-alun pasar sepanjang pagi, memasang penampilan terbaik dengan mandi  dan kulit coklat eksotis mereka yang bersih. Bagi mereka, pasar minggu itu memberikan kesenangan yang telah dinanti selama seminggu. 

Pedagang di pasar minggu  Buntok


Kadang-kadang pada hari Minggu pagi seorang kepala dari kampung tetangga akan datang mengunjungi kami, dan Babu Raisah selalu menyiapkan secangkir kopi, jika itu adalah pejabat Melayu Muslim. Namun ada hal yang menarik dia tidak bersikap sopan dengan tamu apabila orang Dayak, dan beberapa kali dia harus diingatkan akan kewajibannya untuk menjamu tamu. Saya pikir itu adalah sebuah fanatisme yang berlebihan. Demikianlah hari minggu berlalu dengan tenang dan juga sibuk, pada pukul 6 menjelang malam, tepat sebelum invasi nyamuk, saya dan istri duduk bermalas malasan di kursi rotan ditepi sungai Barito didepan rumah dinas, dan menatap para pengunjung pasar yang datang terlambat ataupun ingin pulang ke kediamannya. Seorang anak bergegas pergi ke sungai menaiki perahu kecilnya untuk pulang bersama dengan ibunya sebelum gelap membayangi Buntok....(Bersambung)

Sumber: F. te Wechel, Amiroé beelden uit het Dajaksche volksleven (Amsterdam: Scheltema & Holkema's Boekhandel, 1924). hal 1-17.

Rabu, 01 Juni 2022

PERTOBATAN LUTAK YANG SUKA BERJUDI

 

PERTOBATAN LUTAK YANG SUKA BERJUDI

Ditulis oleh missionaris H. Sundermann, tahun 1919

Disarikan kembali oleh:

Hadi Saputra Miter

 

 

 
Ilustrasi Karl Lutak

 

Si Lutak suka berjudi

Suatu hari di tahun 1888 saya sedang duduk diruang kerja saya di stasiun Tamiang Layang. Seseorang mengetuk, Masuk ujarku, ternyata seorang pria Dayak beragama asli. Saya mengenal pria itu dengan sangat baik, dia adalah Lutak, adik dari Karl Tindong yang baru saja meninggal karena kolera, Tindong meninggal sebagai seorang Kristen. Saya sering bertemu dengan Lutak, juga berbicara dengannya tentang agama, tentang dosa dan anugerah, dan tentang satu hal yang perlu. Tetapi dia selalu menghindari kata-kata saya. Dia suka hidup sesuai dengan prinsip leluhurnya, merayakan aruh Dayak dan suka dalam perjudian. Menjadi seorang Kristen tidak cocok dengan gaya hidupnya, dan dia tidak menemukan cara untuk mengajaknya meninggalkan cara agama lama dan membuat dia menjadi taat kepada Injil seperti kakaknya Tindong "Saya mengundang orang itu untuk duduk dengan saya dan bertanya apa yang dia inginkan. Pertama-tama dia berbicara tentang ini dan itu, seperti yang biasa dilakukan orang Dayak, karena mereka tidak suka mengungkapkan sesuatu secara sekaligus. Saya menunggu dengan sabar sampai kata pengantar selesai. Akhirnya terjadi: dia harus membayar pajak, petugas penagih telah mengingatkannya beberapa kali, dan jika dia tidak punya uang dalam dua hari, maka kepala desa ingin membawanya ke Tanjung menghadap Controleur.

Saya telah sering mengatakan kepadanya untuk menjadi seorang Kristen. Dia memikirkannya, dan jika aku memberitahunya sekarang ingin meminjam 5 gulden agar dia bisa membayar pajaknya maka dia ingin dibaptis. Saya kemudian berbicara dengannya untuk waktu yang lama dan serius dan mengenai pentingnya pembaptisan dan pertobatan dalam menjadi Kristen untuk membuatnya jelas. Akhirnya aku harus memberitahunya bahwa saya tidak bisa dan tidak mau meminjamkan 5 gulden kepadanya, karena saya yakin dia akan singgah di desa berikutnya bermain judi dan kalah dan kemudian tetap tidak bisa membayar pajaknya. saya lebih suka memberinya pekerjaan, maka dia bisa mendapatkan uang yang diperlukan dengan jujur. Tapi dia tidak bisa mengambil keputusan untuk melakukannya. Dia bilang dia tidak bisa tinggal jauh dari rumah dalam waktu lama, dll. Kami kemudian berpisah sebagai teman baik, dia berjanji untuk memikirkan apa yang saya katakan kepadanya. Dia berjalan kembali untuk mencari pinjaman di tempat lain.

 

Lutak mencuri Agong

Dalam perjalanan ke kampungnya di Sangerwasi. Ada banyak orang bermain judi, iapun ikut bermain walau tanpa uang, dia menggadaikan satu pasang pakaiannya sebagai jaminan, dia harus menelan kepahitan dengan kekalahan berjudi, kemudian dia menemukan rumah itu kosong. Di sudut rumah ada Agong (gong tembaga besar), yang harganya bernilai  30-40 gulden. Si Iblis penggoda datang kepadanya. Peluangnya bagus,tapi satu masalah Penghuni rumah mungkin hanya pergi mandi, mereka bisa segera kembali. Tanpa berpikir dua kali, dia mengikat Agong ke keranjang gendong dan kabur. hasil untuk menjual Agong dapat membayar pajak, sisanya masih bisa buat bayar hutang judi dan tersisa satu sen...lumayan. Tapi Lutak salah perkiraan, Pencurian itu tidak berlangsung lama. Ternyata ada saksi mata yang pernah melihatnya membawa Agong. Sebuah laporan dibuat, dan sebelum tiga hari berlalu Lutak berada di penjara oleh Oppas Belanda di Tandjung, dimana ia memiliki kesempatan untuk menyesali hidupnya. Lutak belum pernah makan nasi penjara, dan dia sama sekali tidak menyukainya. Setiap hari mereka pergi bekerja membersihkan jalan dengan tahanan lain dibawah pengawasan seorang pengawas.

Pada saat yang sama dia memikirkan aib karena berada di penjara. Lutak begitu tertekan dan ketakutan di dalam hati, dituduh oleh hati nurani yang bersalah, dia pikir dia tidak tahan lagi di penjara dan datang dengan rencana yang ceroboh dan tidak dipertimbangkan dengan baik. Suatu hari, ketika para tahanan sedang bekerja membersihkan jalan setapak diluar Tandjung ditepi hutan, dia ijin buang air, melangkah ke hutan, dan melarikan diri, meninggalkan petugas sipir penjaral. Lutak secara alami pasti pulang ke kampungnya di Sangarwasi, yang berjarak sekitar 6-7 jam berjalan kaki. Hal tersebut sudah diperkirakan bahwa petugas pasti mencarinya kesana. Itu sebabnya dia tidak berani terlihat didepan orang banyak.

Di hutan terdalam ia mendirikan tempat tinggal sebuah gubuk  yang bobrok. Baru pada malam hari menemui keluarganya untuk mendapatkan makanan. Lutak menyadari bahwa dia tidak bisa lama bersembunyi; pada saat yang sama dia gemetar memikirkan hukuman yang akan datang jika dia tertangkap. Sekarang dia melihat kecerobohannya dan kehidupannya yang telah gagal sebelumnya, hati nuraninya berkecamuk dan Tuhan berbicara kepadanya dalam kesunyian hutan. Dia bersumpah jika dia bisa bebas dia ingin menyingkirkan perjudian, semua keyakinan lama dan akan menjadi seorang Kristen.

 

Lutak Bertobat

Saat ini Presiden Misi Borneo kami (Präses unserer Borneo Mission), Misionaris Braches, datang berkinjung ke Tamiang Layang untuk melihat kemajuan pekerjaan. Kami juga pergi bersama ke cabang Isin tempat Lutak bersembunyi di sana. Disini kami juga mendengar tentang nasib Lutak. Ketika hari sudah gelap di malam hari, kami mengirim utusan kepadanya dan memintanya untuk datang menemui kami sehingga kami berbicara bersamanya, apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dia benar-benar datang. Penuh ketakutan, dengan wajah bermasalah, dia memasuki gubuk, tempat kami menginap. hukuman dan teguran tidak perlu kami berikan lagi, karena pria itu jelas dihukum lebih daricukup. Kami hanya bertanya tentang apa bisa kami bantu? Kami mengadakan rapat dan menghasilkan rencana berikut:

Misionaris Braches secara pribadi akan menemui pejabat Belanda di Tandjung. Dia juga akan menulis surat agar Lutak pendapat hukuman diringankan. Surat ini harus dibawa oleh si terpidana secara pribadi ke petugas keesokan paginya dan selanjutnya menunggu hasil keputusan. Mulanya Lutak tidak mau dibujuk untuk kesana. Namun karena tidak menemukan jalan keluar, akhirnya ia bersedia menerima tugas mengantarkan surat itu, ditemani oleh kakak iparnya, kepala desa Sangarwasi. Beberapa hari kemudian kami kembali di Tamiang Layang, Lutak muncul di Tamiang Layang dengan wajah berseri-seri dengan sepucuk surat dari inspektur. Petugas telah membebaskan hukumannya dengan syarat dia mengembalikan Agong yang dicuri kepada pemiliknya, meminta pengampunan dan melakukan layanan sebagai mata-mata petugas pemerintah Belanda. Jadi dia sekarang adalah orang bebas.

 

Lutak memiliki sumpah, yang harus dia selesaikan, asisten jemaat di Isin mengajarinya katekesasi, dan kemudian saya membaptisnya bersama keluarganya. Dia memilih nama baptisan seperti nama kakak laki-lakinya yang baru saja meninggal, yaitu Karl.  Sakarang namanya Karl Lutak, seperti banyak orang lain, tidak selalu menghormati nama Kristennya, tetapi kadang-kadang bahkan salah jalan. Namun, dia membiarkan dirinya dihantam oleh roh Tuhan lagi dan lagi dan tetap setia pada jemaat Kristen. Kami sangat senang dengan semangat penginjilannya yang tidak sering ditemukan di antara orang-orang Kristen Dayak. Dia mendekati semua orang yang dia temui tanpa rasa takut atau malu memperkenalkan Yesus Kristus. Juga di antara orang-orang Islam yang ada di Tandjung dan Kalua dia sering bersaksi bahwa Kekristenan adalah satu-satunya agama yang benar yang dapat membawa kedamaian dihati. Karena dia adalah orang yang bijaksana, kami mungkin berpikir untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan pemahaman Kristennya tentang Firman Tuhan pelatihan khusus. Dia mungkin bisa menjadi penuntun bagi Kristus bagi banyak umatnya jika hidupnya tidak segera menemukan kesimpulan yang menghancurkan sesuai dengan nasihat Tuhan yang luar biasa.

 

Setelah pemberontakan berdarah di Kalimantan yang dihasut oleh orang-orang Muslim Melayu pada tahun 1859, secara bertahap dihancurkan oleh pemerintah Belanda, para pendukung Sultan telah mundur ke hutan yang tidak dapat ditembus di hulu Sungai Barito. Di sana mereka memiliki seorang Raja, keturunan keluarga sultan, yang mereka harapkan akan sekali lagi menjadi penguasa seluruh Kalimantan tenggara dan mengusir Belanda. Dari sana mereka mencoba lagi dan lagi untuk memprovokasi kerusuhan dan pemberontakan di antara orang-orang Muslim Bakumpai di dataran rendah dengan, ada macam-macam desas-desus tentang perjuangan dan pemberontakan. Desas-desus ini juga diceritakan dan direnungkan di kalangan orang Dayak.

 

Karl Lutak berpikir mungkin untuk mencari Raja tersebut di hutannya untuk membujuknya dengan alasan yang masuk akal agar bersedia tunduk kepada pemerintah Belanda. Dan karena dia adalah orang yang fasih, yang menggunakan pidatonya yang meyakinkan untuk menyelesaikan perselisihan dan bernegosiasi di dewan desa, dia pikir dia mungkin bisa melakukannya sendiri. Dia telah merenungkan masalah ini untuk waktu yang lama. Akhirnya dia membuat keputusan yang berani dan agak bodoh untuk melakukan perjalanan, yang akan memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Saat itu saya sedang berada di Eropa untuk cuti. Misionaris Tromp mewakili saya di Stasiun Beto, Karl memutuskan bahwa ia harus pergi dan mendiskusikan segala macam hal dengan Tromp, meskipun sebenarnya dia adalah anggota Misionaris Feige di Tamiang Layang. Jalannya menuju Hulu Barito juga melalui Beto. Tromp sangat terkejut ketika Karl muncul di tempatnya suatu hari, bersiap untuk pergi dengan membawa keranjang dan kebutuhan perjalanan yang diperlukan di punggungnya, dan mengungkapkan kepadanya rencananya yang aneh. Tentu saja, Karl juga memiliki ide untuk memperkenalkan Injil kepada Radja dan rakyatnya. Jadi dia berharap bisa memenangkannya dengan dua cara, pertama untuk politik keamanan Belanda, dan kedua untuk kerajaan Allah. Missionaris Tromp senang mendengar semangatnya, tapi secara pengetahuan agama ia masih sangat kurang. Selain itu, ia mengkhawatirkan keselamatan dari Karl Lutak, tidak hanya secara eksternal tetapi juga secara internal. Karena itu, dia mencoba mencegahnya dari rencananya. Tapi sia-sia. Pada hari berikutnya, Karl Lutak dengan riang memulai perjalanan panjangnya.

 

Akhir Perjalanan Karl Lutak

Selama beberapa hari dia sudah merantau ke tempat tujuannya. Di kesunyian hutan yang liar, ia menghabiskan malam di gubuk bobrok, yang penghuninya menyambutnya dengan ramah. Angin kencang datang di malam hari. Gubuk itu patah pada sambungan dan gubuk runtuh. Orang-orang yang tidur itu berusaha keluar dari bawah puing-puing. Mereka tidak terluka. Hanya Karl Lutak tidak bisa bergerak dari tempat itu. Sebuah balok jatuh telah menghancurkan tulang punggungnya, orang-orang berdiri disana tanpa daya. Karl mengerang dan merintih kesakitan tapi tidak bisa bergerak bergerak. Dia meminta untuk dibawa ke dokter; itu tapi perjalanan berhari-hari yang jauh sekali. Masyarakat memutuskan untuk menuruti permintaan korban. Bagaimanapun mereka bertanggung jawab karena kejadian tersebut di kampung mereka. Mereka menyiapkan perahu dayung kecil. Kemudian turun dulu anak sungai dan kemudian sungai besar Barito. Mereka sudah melakukan beberapa hari perjalanan, Lutak yang malang itu masih hidup dan mereka berharap bisa membawanya dengan selamat ke kota Bandjermasin. Mereka tiba di Marabahan, satu hari perjalanan dari tempat tujuan mereka. Itu adalah akhir dari kekuatan Lutak. Mereka membawa mayat itu ke darat dan menguburnyaDi tanah asing, jauh dari tanah airnya, Karl Lutak kami menemukan tempat peristirahatannya yang terakhir. Apakah mudah baginya untuk berpisah atau apakah ia telah mempercayakan jiwanya ke dalam tangan Yesus ketika ia melakukan perjalanan terakhir, seperti yang dapat diasumsikan, kita tidak mengetahui semua itu.

 

Sumber :

H. Sundermann, Bilder aus der Missions Arbeit auf Borneo (Barmen: Verlag des Missionshauses in Barmen, 1919). 36-42